Angklung Yg saya Tau adalah Alat Musik Tradisional Punya Indonesia,,Tp Pernah saya dengar kalau Negara Tetangga Mengklaim kalau Angklung Milik Dia,,Itu Sih Katanya.....
Sedih,,Marah,,Gerah,,Panas Banget saya sampai kepala mendidih,,Hahahaha.....Mendengar Semua Itu,,Karena Bukan Yg Pertama Kalinya Terjadi Seperti ini,,,,Jadi Sebenarx Yang salah siapa & Yang bodoh siapa???Pastinya Yang Salah Orang Yang di Penjara & Yang Bodoh Orang Yang Gk Naik Kelas!!!! hahahahahaha :)




Oya Saran Buat Anda2,,Teman2,,Sob2 dll.
Jaga Dan Cintailah Seni,,Budaya,,Sampai Kedaulatan RI Dengan Sungguh2,,
Kalau Bukan Kita Siapa Lagi,,Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi ??!



WADITRA terbuat dari ruas-ruas bambu. Cara memainkannya digoyangkan oleh tangan. Terdapat di seluruh daerah di Jawa Barat. Di Banten angklung dimainkan dalam upacara ngaseuk (menanam benih padi di ladang). ANGKLUNG GRUBAG Di Cipining, Bogor sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri. ANGKLUNG BUNGKO di Desa Bungko, Cirebon, dimainkan dalam upacara nadran dan sedekah bumi. ANGKLUNG BUNCIS atau angklung badud di Ujungberung, Bandung, dimainkan untuk memeriahkan acara arak-arakan khitanan.

Angklung jinjing dan angklung degung sebagai hiburan. Angklung tradisional laras SALENDRO seperti di Banten terdiri atas 4 buah rumpung (ancak), masing-masing bernama: king-king (yang terkecil), inclo (angklung kedua), panempas (angklung ketiga), dan angklung terbesar disebut gonggong. Lagu-lagu yang dimainkan, a.l.: “Ayun-ayunan”, “Bibi lenjang”, “Cik arileu”, “Hiah-hiah panjang”, “Jari gandang”, “keupat reundang”, Lili liyang”, “Nganteh”, “Ngasuh”, Oray-orayan”, “Pileu-leuyan”, “Pongpok”, “Salaela”, dan “Yandi bibi”. Di Kanekes tanpa vocal, di Panamping diperbolehkan mempergunakan lirik lagu berupa SUSUALAN. Di Tasikmalaya ada yang disebut angklung séréd, semacam perlombaan angklung antara dua kelompok anak-anak.

Di daerah Banten ada yang di sebut ngadu angklung. Selain sebagai hiburan, waditra tersebut biasa dipergunakan oleh orang yang minta-minta sebagai sarana pencari nafkah. Bersumber dari orang inilah, UJO NGALAGENA mengembangkan angklungnya hingga mendirikan Saung Angklung yang merupakan salah satu obyek pariwisata di Bandung. Ia mengembangkan angklung yang berlaras salendro, PELOG, dan MADENDA, berbeda dengan ANGKLUNG DAENG yang diatonis. Angklung dipergunakan dalam pertunjukan ogel. Dalam perkembangan selanjutnya, angklung sering dimainkan secara massal (biasanya oleh anak-anak sekolah) dalam rangka menyambut tamu negara, memeriahkan hari-hari nasional, dsb., tapi yang diatonis.
Angklung Buncis

Rombongan ANGKLUNG yang biasa memainkan lagu “Buncis”, disamping lagu-lagu lainnya. Angklungnya ada 9 buah, masing-masing disebut (1) singgul, (2) Jongjrong, (3) Ambrung, (4) Ambrung panerus, (5) Pancer, (6) Pancer panerus, (7) Engklok, (8) Roel dan (9) Roel panerus. Dilengkapi dengan rombongan penabuh dogdog terdiri dari empat buah dogdog yang garis tengahnya berbeda, dari yang terkecil berukuran 25 cm, makin besar sampai yang berukuran 45 cm, dinamakan (1) tilingtit, (2) panempas, (3) jongjrong, dan (4) bangbrang atau badugblag yang terbesar. Disamping itu ada pula peniup terompet kendangpenca. Para pemain angklung menabuh waditranya sambil bergerak dengan langkah beragam, seperti banting suku, tenggeng, tenggang, ban karet dan angkog. Kadang-kadang ada juga yang memainkan angklungnya sambil terlentang.


Sedangkan para penabuh dogdog dan terompet tidak diharuskan melakukan langkah-langkah demikian, cukup berdiri atau melangkah kecil mundur atau maju. Mereka bernyanyi silih berganti sambil melawak. Kecuali lagu “Buncis”, lagu lain yang biasa dimainkan ialah “Badud” dan “Tonggeret”. Angklung Buncis terdapat di Ciwidey, Ujungberung, Bandung. Biasanya dipertunjukkan pada hajatan, hari raya nasional, pesta desa seperti sehabis panen, dll.
Angklung Bungko

ANGKLUNG yang disertai tarian, dimainkan pada saat upacara nadran, ngunjung ke GUNUNG JATI dan SEDEKAH BUMI, serta kaulan (nazar), terdapat di Desa Bungko yang terletak di perbatasan Cirebon dengan Indramayu (25 km dari kota Cirebon di tepi Laut Jawa). Nadran merupakan upacara tradisional masyarakat nelayan setempat diselenggarakan setiap tahun. Pada kesempatan tersebut angklung bungko amat berperan dari mulai pelaksanaan upacara dari pantai ke tengah laut hingga kembali ke pantai. Angklung bungko terdiri dari tiga buah angklung yang karena tuanya (dipercaya sudah 600 tahun) tidak bernada lagi jadi tidak dipakai, hanya dalam setiap pagelaran selalu harus ada, sedang waditra lainnya terdiri dari tiga buah ketuk, sebuah gong besar, dan sebuah kendang besar. Tarian yang diiringinya adalah tari manji, bantoloyo, ayam alas, dan bebek ngoyor. Para penarinya laki-laki semua. Mereka berbaris lurus mengenakan ikat kepala dari batik, kaos oblong putih, KERIS, kain batik, serta SODER. Tariannya sangat halus dan statis memberikan kesan tenang, sedang tabuhannya kadang- kadang bergemuruh. Gerak tarian terdiri dari lambaian lengan, sedang kaki kadang-kadang menekuk sampai rendah sekali. Gerakan kepala tenang tapi air muka penari lebih tepat jika disebut tegang. Keseluruhannya memberi kesan orang yang sedang bersiap-siap berangkat ke medan perang atau ke laut luas. Suasana laut, ombak, dan bunyi kayuhan terpancar dari seluruh gerak tubuh yang turun naik serempak dengan tenang serta lambaian lengan. Atas gagasan tokoh masyarakat yang berhasil menumpas bajak laut serta bijaksana yaitu Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, angklung bungko tetap dilestarikan dan dimanfaatkan sebagai salah satu alat untuk menyebarkan agama Islam. Hingga sekarang angklung bungko terus hidup.
Angklung Pa Daéng

Angklung yang diciptakan oleh DAENG SUTIGNA. Mula-mula sebagai alat yang berguna dalam pendidikan bekerja sama dan disiplin anak-anak. Berlainan dengan angklung tradisional, angklung Daeng bertangganada diatonis sehingga dapat menyebar ke seluruh daerah Indonesia, bahkan juga ke luar negeri.
Angklung Gubrag

Perangkat ANGKLUNG yang terdapat di kampong Cipining, desa Argapura, kecamatan Cigudeg, Bogor. Ditabuh terutama sehubungan dengan ritual penanaman padi. Dipercaya mempersubur pertumbuhannya. Terdiri dari 9 buah angklung yang besarnya berurutan dan dua buah DOGDOG LOJOR, yaitu 3 buah angklung kecil yang disebut roel, salah sebuah dipegang oleh DALANG; 2 buah angklung kurulung, 2 buah angklung engklok, 2 buah angklung gangling dan 2 buah dogdog lojor yang berfungsi sebagai gendang.

Permainannya terdiri dari tiga adegan, yaitu (1) Iring-iringan, rombongan menabuh sambil berjalan, lagunya Goyong-goyong, memberikan kesan gagah; (2) Nyanyian, yang tidak selamanya diiringi oleh angklung. Dalang menyanyi sambil berjongkok, dan angklung ditabuh sambil berdiri, lagu yang pertama Adulilang Sri Lima (ditujukan kepada Dewi Sri), lagu kedua Kidung Sulanjana yang liriknya mengenai pendidikan budi pekerti bernafaskan Islam dan (3) Ngadu (bertanding): semua pemain berdiri sambil menabuh tapi tidak menari. Yang bergerak hanyalah penabuh dogdog lojor yang sambil menabuh dogdog masing-masing berusaha menyentuh kepala kulit dogdog lawannya. Angklung gubrag dimainkan pada upacara SEREN TAUN di kampungnya sendiri, tapi kadang-kadang bermain juga di luar kampungnya untuk merayakan hajatan keluarga, perhelatan hari raya dll., namun selalu harus didahului dengan bermain di kampungnya sendiri.
Angkog

Ragam langkah dalam permainan rakyat seperti pada permainan ANGKLUNG BUNCIS dari Ujungberung, Bandung. Arti kata angkog ialah melangkah sambil berlutut. Langkah demikian dilakukan oleh pemain angklung sambil terus membunyikan waditranya. Langkah angkog cukup sulit dan memerlukan latihan khusus yang cukup lama. Angkog terdapat pada adegan ketika pemain angklung habis berbaring sambil terus membunyikan angklung dalam pola lantai berbentuk lingkaran. Angkog dilakukan setelah para pemain yang berbaring itu berdiri. Pola lantai langkah angkog pun berbentuk lingkaran juga.

Kesulitannya ialah karena selain memerlukan otot betis dan otot paha yang kuat, juga karena setiap orang yang melakukannya tidak sama jarak “langkah”nya dan dengan demikian akan mendorong dan mendesak pemain yang lebih pendek “langkah”nya yang berada di depannya.

Sumber:
ENSIKLOPEDI SUNDA
ALAM, MANUSIA, DAN BUDAYA
Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi

Pemimpin Redaksi
AJIP ROSIDI

Redaksi Pelaksana
EDI S. EKADJATI

Redaksi
DODONG DJIWAPRADJA
EMBAS SUHERMAN
AYATROHAEDI
ABDURRACHMAN
NANO S.
ATIK SOEPANDI
KOMARUDDIN SASTRADIPOERA

Penerbit
PUSTAKA JAYA

Penyusunan naskah dimungkinkan atas bantuan The Toyota Foundation, Tokyo dan Hj. Patimah.
Diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya atas kerja sama dengan The Toyota Foundation,Tokyo dan
Yayasan Kebudayaan Rancage, Jakarta.

4 komentar :

Dimohon Untuk Tidak Melakukan KOMENTAR SPAM!!
- Memasukkan Link Aktif
- Promo/Iklan
- Komentar Tidak Sesuai Postingan
- Posting Berualang-Ulang

Tiket Pesawat Murah - Promo

Kaos Dakwah Islami

Kaos Dakwah Islami